Crash market saham merupakan kondisi di mana mayoritas pasar saham mengalami koreksi / bearish dalam jangka waktu yang agak panjang, di mana bearish ini bukan cuma koreksi biasa, namun penurunan ini terjadi secara masif, dan juga dialami oleh bursa-bursa saham yang lain.
Oke, di Indonesia, crash market saham pernah terjadi beberapa kali:
1998: Crash market ini yang paling parah, di mana pemicunya adalah krisis moneter (ekonomi), Rupiah terus melemah, hiper inflasi, plus kondisi politik yang sedang kacau.
2008: Crash market ini dipicu oleh penurunan harga komoditas (global), dan resesi ekonomi khususnya di Amerika, yaitu AS menghadapi subprime mortgage (gagal bayar kredit properti).
2015: Crash market ini dipicu oleh adanya resesi ekonomi, khususnya pelemahan nilai tukar Rupiah, banyak usaha yang gulung tikar, banyak emiten yang labanya anjlok, harga komoditias yang bearish panjang, dan inflasi membengkak. Selain itu, kondisi di luar negeri, seperti Tiongkok juga sedang mengalami perlambatan ekonomi, yang berpengaruh juga ke bisnis dagang Indonesia.
Jadi yang menyebabkan crash market bisa terjadi di Indonesia sampai tiga kali, pemicunya adalah: KONDISI EKONOMI, KONDISI POLITIK, KONDISI LUAR NEGERI.
Tiga kondisi ini, kalau sudah terjadi, apalagi terjadinya secara BERSAMAAN, ya sudah, crash market nggak akan bisa dihindari lagi.
Ironisnya, di tahun 2019 kita sudah melihat tanda-tanda crash market tersebut. Apa tanda-tanda crash market tersebut?
1. Perang dagang AS- Tiongkok
Perang dagang AS-Tiongkok sudah memanas sejak tahun 2017, di mana AS terus mengenakan kenaikan tarif produk2 Tiongkok, demikian juga sebaliknya. Perang dagang akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun, dan hal ini akan dialami baik oleh AS maupun Tiongkok.
Perang dagang membuat arus aliran transaksi barang tidak akan berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya.
Masalahnya, Indonesia memiliki hubungan bisnis yang cukup besar dengan AS maupun Tiongkok. Sebagai contoh, Indnesia memiliki nilai eskpor yang besar ke Tiongkok untuk barang2 komoditas seperti batu bara.
Nah, kalau Tiongkok mengalami perlambatan ekonomi, jumah barang ekspor kita pasti akan ikut menurun, dan otomatis pertumbuhan ekonomi (pendapatan pajak dan lain2) di negara kita juga bakal turun.
Ketika terjadi perang dagang, investor akan cabut dari bursa saham, dan lebih memilih untuk menyimpan aset2 safe heaven seperti emas.
2. Harga komoditas tidak kunjung membaik, pertumbuhan ekonomi tidak sesuai harapan
Kita semua tahu bahwa harga barang2 komoditas sekarang seperti apa. Turun, bearish. Kita bisa lihat saham2 batu bara, minyak, kelapa sawit yang turun terus selama beberapa bulan ini, dan bahkan reboundnya cuma tipuan saja.
Kabaar buruknya lagi, di kuartal I / 2019, rilis pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berhasil mencapai angka 5,07% (data BPS), di mana sebelumnya pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi bisa mencapai 5,2%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi, harga komoditas yang masih belum pulih, bisa menjadi indikasi bearish market.
3. Kondisi politik Indonesia
Tahun 2019 merupakan tahun pemilu. Tahun pemilu selalu "berhasil" membuat pelaku pasar wait and see, bahkan hengkang dari Bursa saham kita.
Karena pelaku pasar selalu mengaitkan pemilu dengan tahun politik, sehingga sebelum maupun pasca pemilu, jangan berharap pelaku pasar akan membeli saham dalam jumlah besar. Sebaliknya, setiap tahun politik, IHSG rata2 cenderung bergerak mixed dan cenderung turun.
Kondisi politik kita sekarang juga masih tidak menentu. Inilah yang menyebabkan IHSG berpotensi crash, karena kalau pelaku pasar, investor asing sudah ramai2 keluar dari Bursa, anda pasti sudah bisa jawab apa yang bakali terjadi dengan IHSG.
4. Ciri-ciri crash market secara technical analysis
Ciri-ciri atau pertanda crash market kalau dilihat dari pergerakan saham2 di BEI adalah: Mayoritas saham-saham likuid terutama blue chip dan LQ45, harganya akan turun terus, hingga berada di bawah MA200, demikian juga dengan IHSG.
MA200 ini adalah indikator moving average selama 1 tahun. Jadi kalau mayoritas saham pada turun dibawah MA200, maka ini bisa menunjukkan bahwa banyak saham yang harganya mulai bearish.
Anda harus peka melihat situasi analisa teknikal ini, karena kalau cuma 1-2 saham blue chip yang harganya bearish dibawah MA200, bisa jadi memang sahamnya memang lagi turun. Tapi kalau mayoritas saham polanya sama, maka hal ini bisa jadi pertanda strong bearish, bukan cuma koreksi wajar.
Sebelumnya, crash market digadang-gadang akan terjadi di tahun 2018. Perhatikan chartb IHSG sejak tahun 2018 sampai Mei 2019 dibawah ini:
Kita bisa perhatikan bahwa IHSG sebelumnya sudah turun tajam setelah breakout all time high ke 6.7000-an pada Februari 2018 (tanda lingkaran). Saat itu banyak trader yang mengatakan terjadi crash market, resesi, siklus 10 tahunan terulang, krisis 1998 terulang dan lain2.
Tapi karena saya belum melihat tanda2 IHSG akan bergerak ke arah krisis 1998 (secara data tahun 2018 juga masih jauh lebih bagus), maka saya pernah menuliskan disini: IHSG Turun Terus, Apakah Pertanda Krisis Global? bahwa crash market 2018 tidak terjadi, walaupun perekonomian global sejatinya masih lesu.
Dan memang benar dua bulan terakhir di tahun 2018, IHSG berhasil rebound dengan kencang. Namun di tahun 2019, kondisinya tidak sama, karena tahun politik semakin dekat, perang dagang semakin gencar, dan seperti yang saya tuliskan tadi: Perekonomian di kuartal I 2019 jauh dari harapan.
Sehingga, suka nggak suka IHSG langsung terjun bebas, dan ironisnya ketiga poin itu tadi yaitu: Poin 1: Kondisi luar negeri. Poin 2: Kondisi ekonomi. Poin 3: Kondisi politik, semuanya lagi terjadi di tahun 2019.
Logikanya gini, kalau market sudah bearish sampai beberapa bulan, dan kemudian ekonomi kita benar2 pulih atau at least nggak ada masalah apapun, harusnya IHSG sekarang sudah bisa break all time high.
Tapi pada grafik diatas, justru sebaliknya, tahun 2019 samoai Mei kita cuma berhasil mencapai angka IHSG 6.637 (belum sempat tembus all time high di 6.700-an), then IHSG langsung terjun bebas karena tiga faktor tersebut.
STRATEGI TRADING SAAT CRASH MARKET
Catatan: Sebelum saya lanjut, saya ingin mengatakan dulu pada anda bahwa crash market ini masih POTENSI, artinya BELUM PASTI. Jadi dengan membaca tulisan ini, jangan langsung ambil kesimpulan market sudah crash. Tapi tanda2nya sudah mulai terlihat...
Saya yakin setelah baca ulasan diatas, anda bakalan tanya: "Pak Heze, bagaimana strategi beli saham saat crash market?"
Well, karena sebelum2nya saya sudah mengalami crash market, maka strategi terbaik berdasarkan pengalaman saya adalah: WAIT AND SEE.. Yap, keputusan ini adalah keputusan yang membosankan, karena anda nggak trading, cuma mengamati. Tapi ya inilah adalah keputusan terbaik.
Soalnya kalau anda memaksakan main seruduk saat IHSG masih nggak pasti (dan koreksinya bukan turun biasa), saham nyangkut anda bakal bertambah banyak, bukankah begitu?
Wait and see sampai paling tidak sentimen2 negatif sudah mulai pada keluar, dan IHSG sudah sulit untuk turun lagi. Sampai kapan?
Kita semua tidak tahu, karena dari pengalaman crash market tahun2 sebelumnya, tidak ada acuan yang pasti sampai berapa bulan crash market berakhir. Tahun 1998 crash market berlangsung cukup panjang, tapi tidak demikian dengan tahun 2015. Tahun 2015 crash market kita lebih cepat pulih.
Jika tekanan bearish market sudah mulai reda, incarlah saham2 yang mudah naik. Saya pernah menulisnya disini: Saham yang Mudah Naik.
Tetapi, seturun-turunnya IHSG, pasti ada 1-2 hari di mana IHSG rebound. Nah, untuk anda yang tipikalnya trader cepat, anda bisa manfaatkan momentum ini untuk buy-sell dalam jangka singkat, karena nggak mungkin IHSG turun setiap hari.
Baca juga: Strategi dan Praktik Trading Harian Saham.
Beberapa trader yang saya temukan pernah mengatakan: "Kalau crash market beli saja saham gorengan, jangan beli sham blue chip, soalnya pasti turun."
Memang benar. Ketika crash market, setiap hari tetap ada saham yang naik 20%. Saham2 itu adalah saham gorengan. Tidak masalah kalau anda mau cari cuan dari saham2 tersebut selama crash market.
Tapi dengan catatan, anda memang benar2 jago mencari saham2 gorengan, dan anda juga harus batasi risiko. Mengingat saham gorengan ini cukup berisiko. Jadi strategi seperti ini, nggak saya sarankan buat pemula.
Mengingat market yang sekarang lagi turun, itulah kenapa terkadang watchlist saham di halaman: Rekomendasi Saham, juga tidak terlalu sering saya berikan.
Bahkan wathclist2 saham yang saya tuliskan lebih banyak saya ulas titik2 supportnya supaya anda lebih waspada kalau2 saham tersebut jatuh lagi.
"Tapi Pak Heze, sekarang saya lagi punya saham dan nyangkut. Enaknya hold atau cut loss?"
Buat anda yang sudah terlanjur punya saham dan masih nyangkut, maka kalau anda masih loss 2-5%, anda bisa jual dulu, toh kalau anda bisa ambil di harga bottom, return anda nanti pasti lebih besar.
Tapi kalau anda nggak berani cut loss atau bahkan anda nggak mau cut loss, maka ya sudah hold saja sahamnya, sampai market nanti pulih.
Itulah pentingnya anda harus punya saham2 blue chip atau LQ45. Karena saham2 tersebut selain teknikalnya bagus (mudah naik setelah turun), fundamentalnya juga terjamin, sehingga kalaupun saham anda turun, anda tetap dapat dividen rutin.
Namun jika sekarang anda pegang saham2 yang nggak jelas plus anda nggak berani cut loss, maka jadikan ini sebagai pembelajaran anda.
Catatan penting: Seperti saya tuliskan, crash market ini masih potensi (karena sudah ada tanda-tandanya), walaupun kita tidak bisa langsung menarik kesimpulan satu arah Nah, kalau nanti ada update2 terbaru atau perubahan market, saya akan ulas lagi di web Saham Gain ini.
Jadi yang menyebabkan crash market bisa terjadi di Indonesia sampai tiga kali, pemicunya adalah: KONDISI EKONOMI, KONDISI POLITIK, KONDISI LUAR NEGERI.
Tiga kondisi ini, kalau sudah terjadi, apalagi terjadinya secara BERSAMAAN, ya sudah, crash market nggak akan bisa dihindari lagi.
Ironisnya, di tahun 2019 kita sudah melihat tanda-tanda crash market tersebut. Apa tanda-tanda crash market tersebut?
1. Perang dagang AS- Tiongkok
Perang dagang AS-Tiongkok sudah memanas sejak tahun 2017, di mana AS terus mengenakan kenaikan tarif produk2 Tiongkok, demikian juga sebaliknya. Perang dagang akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun, dan hal ini akan dialami baik oleh AS maupun Tiongkok.
Perang dagang membuat arus aliran transaksi barang tidak akan berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya.
Masalahnya, Indonesia memiliki hubungan bisnis yang cukup besar dengan AS maupun Tiongkok. Sebagai contoh, Indnesia memiliki nilai eskpor yang besar ke Tiongkok untuk barang2 komoditas seperti batu bara.
Nah, kalau Tiongkok mengalami perlambatan ekonomi, jumah barang ekspor kita pasti akan ikut menurun, dan otomatis pertumbuhan ekonomi (pendapatan pajak dan lain2) di negara kita juga bakal turun.
Ketika terjadi perang dagang, investor akan cabut dari bursa saham, dan lebih memilih untuk menyimpan aset2 safe heaven seperti emas.
2. Harga komoditas tidak kunjung membaik, pertumbuhan ekonomi tidak sesuai harapan
Kita semua tahu bahwa harga barang2 komoditas sekarang seperti apa. Turun, bearish. Kita bisa lihat saham2 batu bara, minyak, kelapa sawit yang turun terus selama beberapa bulan ini, dan bahkan reboundnya cuma tipuan saja.
Kabaar buruknya lagi, di kuartal I / 2019, rilis pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berhasil mencapai angka 5,07% (data BPS), di mana sebelumnya pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi bisa mencapai 5,2%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi, harga komoditas yang masih belum pulih, bisa menjadi indikasi bearish market.
3. Kondisi politik Indonesia
Tahun 2019 merupakan tahun pemilu. Tahun pemilu selalu "berhasil" membuat pelaku pasar wait and see, bahkan hengkang dari Bursa saham kita.
Karena pelaku pasar selalu mengaitkan pemilu dengan tahun politik, sehingga sebelum maupun pasca pemilu, jangan berharap pelaku pasar akan membeli saham dalam jumlah besar. Sebaliknya, setiap tahun politik, IHSG rata2 cenderung bergerak mixed dan cenderung turun.
Kondisi politik kita sekarang juga masih tidak menentu. Inilah yang menyebabkan IHSG berpotensi crash, karena kalau pelaku pasar, investor asing sudah ramai2 keluar dari Bursa, anda pasti sudah bisa jawab apa yang bakali terjadi dengan IHSG.
4. Ciri-ciri crash market secara technical analysis
Ciri-ciri atau pertanda crash market kalau dilihat dari pergerakan saham2 di BEI adalah: Mayoritas saham-saham likuid terutama blue chip dan LQ45, harganya akan turun terus, hingga berada di bawah MA200, demikian juga dengan IHSG.
MA200 ini adalah indikator moving average selama 1 tahun. Jadi kalau mayoritas saham pada turun dibawah MA200, maka ini bisa menunjukkan bahwa banyak saham yang harganya mulai bearish.
Anda harus peka melihat situasi analisa teknikal ini, karena kalau cuma 1-2 saham blue chip yang harganya bearish dibawah MA200, bisa jadi memang sahamnya memang lagi turun. Tapi kalau mayoritas saham polanya sama, maka hal ini bisa jadi pertanda strong bearish, bukan cuma koreksi wajar.
Sebelumnya, crash market digadang-gadang akan terjadi di tahun 2018. Perhatikan chartb IHSG sejak tahun 2018 sampai Mei 2019 dibawah ini:
Kita bisa perhatikan bahwa IHSG sebelumnya sudah turun tajam setelah breakout all time high ke 6.7000-an pada Februari 2018 (tanda lingkaran). Saat itu banyak trader yang mengatakan terjadi crash market, resesi, siklus 10 tahunan terulang, krisis 1998 terulang dan lain2.
Tapi karena saya belum melihat tanda2 IHSG akan bergerak ke arah krisis 1998 (secara data tahun 2018 juga masih jauh lebih bagus), maka saya pernah menuliskan disini: IHSG Turun Terus, Apakah Pertanda Krisis Global? bahwa crash market 2018 tidak terjadi, walaupun perekonomian global sejatinya masih lesu.
Dan memang benar dua bulan terakhir di tahun 2018, IHSG berhasil rebound dengan kencang. Namun di tahun 2019, kondisinya tidak sama, karena tahun politik semakin dekat, perang dagang semakin gencar, dan seperti yang saya tuliskan tadi: Perekonomian di kuartal I 2019 jauh dari harapan.
Sehingga, suka nggak suka IHSG langsung terjun bebas, dan ironisnya ketiga poin itu tadi yaitu: Poin 1: Kondisi luar negeri. Poin 2: Kondisi ekonomi. Poin 3: Kondisi politik, semuanya lagi terjadi di tahun 2019.
Logikanya gini, kalau market sudah bearish sampai beberapa bulan, dan kemudian ekonomi kita benar2 pulih atau at least nggak ada masalah apapun, harusnya IHSG sekarang sudah bisa break all time high.
Tapi pada grafik diatas, justru sebaliknya, tahun 2019 samoai Mei kita cuma berhasil mencapai angka IHSG 6.637 (belum sempat tembus all time high di 6.700-an), then IHSG langsung terjun bebas karena tiga faktor tersebut.
STRATEGI TRADING SAAT CRASH MARKET
Catatan: Sebelum saya lanjut, saya ingin mengatakan dulu pada anda bahwa crash market ini masih POTENSI, artinya BELUM PASTI. Jadi dengan membaca tulisan ini, jangan langsung ambil kesimpulan market sudah crash. Tapi tanda2nya sudah mulai terlihat...
Saya yakin setelah baca ulasan diatas, anda bakalan tanya: "Pak Heze, bagaimana strategi beli saham saat crash market?"
Well, karena sebelum2nya saya sudah mengalami crash market, maka strategi terbaik berdasarkan pengalaman saya adalah: WAIT AND SEE.. Yap, keputusan ini adalah keputusan yang membosankan, karena anda nggak trading, cuma mengamati. Tapi ya inilah adalah keputusan terbaik.
Soalnya kalau anda memaksakan main seruduk saat IHSG masih nggak pasti (dan koreksinya bukan turun biasa), saham nyangkut anda bakal bertambah banyak, bukankah begitu?
Wait and see sampai paling tidak sentimen2 negatif sudah mulai pada keluar, dan IHSG sudah sulit untuk turun lagi. Sampai kapan?
Kita semua tidak tahu, karena dari pengalaman crash market tahun2 sebelumnya, tidak ada acuan yang pasti sampai berapa bulan crash market berakhir. Tahun 1998 crash market berlangsung cukup panjang, tapi tidak demikian dengan tahun 2015. Tahun 2015 crash market kita lebih cepat pulih.
Jika tekanan bearish market sudah mulai reda, incarlah saham2 yang mudah naik. Saya pernah menulisnya disini: Saham yang Mudah Naik.
Tetapi, seturun-turunnya IHSG, pasti ada 1-2 hari di mana IHSG rebound. Nah, untuk anda yang tipikalnya trader cepat, anda bisa manfaatkan momentum ini untuk buy-sell dalam jangka singkat, karena nggak mungkin IHSG turun setiap hari.
Baca juga: Strategi dan Praktik Trading Harian Saham.
Beberapa trader yang saya temukan pernah mengatakan: "Kalau crash market beli saja saham gorengan, jangan beli sham blue chip, soalnya pasti turun."
Memang benar. Ketika crash market, setiap hari tetap ada saham yang naik 20%. Saham2 itu adalah saham gorengan. Tidak masalah kalau anda mau cari cuan dari saham2 tersebut selama crash market.
Tapi dengan catatan, anda memang benar2 jago mencari saham2 gorengan, dan anda juga harus batasi risiko. Mengingat saham gorengan ini cukup berisiko. Jadi strategi seperti ini, nggak saya sarankan buat pemula.
Mengingat market yang sekarang lagi turun, itulah kenapa terkadang watchlist saham di halaman: Rekomendasi Saham, juga tidak terlalu sering saya berikan.
Bahkan wathclist2 saham yang saya tuliskan lebih banyak saya ulas titik2 supportnya supaya anda lebih waspada kalau2 saham tersebut jatuh lagi.
"Tapi Pak Heze, sekarang saya lagi punya saham dan nyangkut. Enaknya hold atau cut loss?"
Buat anda yang sudah terlanjur punya saham dan masih nyangkut, maka kalau anda masih loss 2-5%, anda bisa jual dulu, toh kalau anda bisa ambil di harga bottom, return anda nanti pasti lebih besar.
Tapi kalau anda nggak berani cut loss atau bahkan anda nggak mau cut loss, maka ya sudah hold saja sahamnya, sampai market nanti pulih.
Itulah pentingnya anda harus punya saham2 blue chip atau LQ45. Karena saham2 tersebut selain teknikalnya bagus (mudah naik setelah turun), fundamentalnya juga terjamin, sehingga kalaupun saham anda turun, anda tetap dapat dividen rutin.
Namun jika sekarang anda pegang saham2 yang nggak jelas plus anda nggak berani cut loss, maka jadikan ini sebagai pembelajaran anda.
Catatan penting: Seperti saya tuliskan, crash market ini masih potensi (karena sudah ada tanda-tandanya), walaupun kita tidak bisa langsung menarik kesimpulan satu arah Nah, kalau nanti ada update2 terbaru atau perubahan market, saya akan ulas lagi di web Saham Gain ini.
Post a Comment
Post a Comment